Minggu, 12 Desember 2010

Ritual Bakar Batu di PAPUA

Mengapa konflik selalu mendera bumi Papua? Bukankah sebelumnya konflik yang ada bisa didamaikan dengan ritual bakar batu?
JIKA demikian, apakah makna ritual bakar batu sudah tidak ditaati lagi oleh komunitas adat di Papua? Tentu itu sebuah misteri yang masih menutupi sebagian besar Papua tentang budayanya. Atau ini pertanda kegagalan dalam menangkap pesan budaya di wilayah paling timur Indonesia itu.

Kendati demikian, yang tertangkap dari ritual bakar batu adalah kesederhanaan. Dalam prosesnya, ritual bakar batu selalu diawali penyalaan api dari tumpukan kayu yang mereka ambil dari hutan. Begitu api menyala, di atasnya ditata batu-batu. Semua berakhir ketika batu sudah mulai matang dan berubah warna.
Batu-batu yang telah matang itu dimasukkan ke lubang berukuran sekitar 50 sentimeter di tengah lapang. Daun-daun dan ipere ditata di atas batu matang itu. Lapis kedua setelah daun-daunan dan umbi ada binatang simbol kemegahan, babi.
Semua masyarakat mengikuti ritual adat itu. Dan ketika semua matang, makati bersama dilakukan. Semua kebagian dengan adil.
Dinamai upacara bakar batu, karena memang dalam ritual itu batu dibakar di atas tumpukan kayu yang digunakan sebagai sarana untuk memasak. Penamaan itu sebenarnya adalah penamaan cara memasak makanan secara tradisional.
Meskipun upacara ini merupakan sebuah ritual adat, banyak orang yang terlibat di dalamnya. Mungkin karena ada acara makan bersama yang menunya memang dianggap mewah oleh warga Papua. Dalam upacara itu selalu ada babi yang merupakan simbol kemewahan masyarakatnya. Semakin banyak sebuah keluarga atau kelompok di sana yang memiliki babi, pastilahmereka semakin terpandang.
Ipere atau umbi-umbian merupakan simbol kemakmuran. Juga sayuran yang jenisnya telah ditentukan dan tidak sembarangan adalah simbol kesuburan.
Di sisi lain, upacara bakar batu juga merupakan simbol kesederhanaan masyarakat Papua. Muaranya ialah persamaan hak, keadilan, kebersamaan, kekompakan, kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan yang membawa pada perdamaian.
Bakar batu juga merupakan sarana untuk mengumpulkan orang dalam jumlah yang banyak. Di situlah interaksi sosialyang sesungguhnya masyarakat Papua dilakukan. Interaksi yang harmonis antarsesama anggota suku dan di luar suku, juga antarsuku-suku itu sendiri. Bukan seperti selama ini yang banyak diekspos. Perang antarsuku, bentrokan dengan masyarakat pendatang, dan berbagai ekses kekerasan lain.
Di sebagian besar warga Papua, memang perang masih dipandang sebagai jalan keluar terbaik. Tombak, panah, dan teriakan-teriakan pembangkit semangat selalu ada dalam setiap konflik.
Di sinilah peran penting ritual bakar batu sebagai sarana untuk berdamai, utamanya suku-suku yang sedang berperang.
Ketika batu dibakar, daun-daun, ipere, dan babi matang, di situlah ada perdamaian.
Sebenarnya ritual ini juga sering dilakukan untuk menghimpun orang pada prosesi pembukaan ladang, kelahiran, kematian, berburu, membangun rumah, perkawinan, dan juga hal-hal lain yang mengharuskan mobilisasi massa dalam jumlah besar.
Dalam perkembangannya, tak jarang ritual adat ini dibajakkelompok tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Hal itu pulalah yang sering terjadi dengan upacara bakar batu ini.
Lunturnya nilai-nilai kesakralan sebuah ritual salah satunya disebabkan hal itu. Ironisnya, masyarakat tak tahu bahwa mereka dan warisan moyangnya dimanfaatkan dengan tidak bijak. Lebih lagi ketika kemanfaatan itu tak dirasakan masyarakat. Itulah yang terjadi di Papua.
Jika dicermati dengan bijak, urusan perut ini bisa menjadi perekat persatuan dan simbol perdamaian di daerah yang dikenal dengan konflik berkepanjangan itu. Tinggal bagaimana melihat adat sebagai nilai-nilai yang harus ditaati bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar