Kamis, 02 Desember 2010

Kuasa Sang Jenderal

Soeharto masih dengan tenang bisa menikmati masa pensiunnya, tanpa perlu kehilangan pelayanan VIP (Very Important Person) yang ia dapat saat masih menjabat orang nomor satu di negara ini.

Tampuk kekuasaan diraih Soeharto dengan cara yang tidak lazim. Berbekal selembar kertas Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), ia dengan leluasa mengambil alih kepemimpinan Soekarno. Berbekal surat sakti itu pula, Soeharto menyingkirkan semua pihak yang dianggap menghalangi semua kebijakan yang ia buat untuk melanggengkan kekuasaan, dengan tindakan represif nan kejam.


Pembantaian PKI (1965-1971), Peristiwa Tanjung Priok (1984), 27 Juli (1996), hingga Peristiwa Trisakti (1998) adalah sedikit dari catatan pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun Soeharto berkuasa. Tak kurang dari 4 juta jiwa rakyat Indonesia menjadi korban lebih dari 200 kasus pembunuhan atau pembantaian yang dilakukan Orde Baru dengan berbagai motif.

Sejarawan Ong Hok Ham bahkan mengatakan, jika dibandingkan antara jumlah korban saat kekuasaan kolonial Belanda selama 350 tahun dengan kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun, jumlah korban Orde Baru jauh lebih besar dibandingkan jaman kolonial Belanda menjajah Indonesia.

Membenturkan rakyat dengan aparat keamanan melalui tindakan represif merupakan warisan "kejayaan" Orde Baru yang masih terasa begitu nyata hingga sekarang. Tak sampai setahun Soeharto lengser, mahasiswa kembali harus menghadapi tindakan represif aparat pada Peristiwa Semanggi yang terjadi pada November 1998 yang kemudian berulang pada September 1999. Kedua peristiwa tersebut sedikitnya merenggut 17 nyawa.
Penggunaan aparat demi stabilitas keamanan dan sosial adalah hal yang senantiasa dilakukan Soeharto demi melanggengkan kekuasaan. Tahun 1999, rakyat Timor Timur (sekarang Timor Leste) harus berhadapan dengan aparat yang melakukan kekerasan sebelum dan sesudah jajak pendapat 1999.
Pada masa itu, Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor mencatat tidak kurang dari 17.749 orang ditangkap dan 7.130 orang tewas akibat tindakan represif militer. Sekali lagi, rakyat Timor Timur harus merasakan kejamnya tindakan aparat keamanan yang telah berlangsung semenjak wilayah tersebut dipaksa bergabung menjadi bagian Indonesia pada 1976.

Entah disengaja atau tidak, militer yang seharusnya menjadi pelindung negara dan rakyatnya, malah menjadikan rakyat sebagai bulan-bulanan intimidasi mereka. Bahkan di luar kepentingan negara sekalipun. Terakhir, masyarakat Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur menjadi korban peristiwa penembakan yang dilakukan oleh TNI AL. Empat warga Alas Tlogo tewas tertembak pada konflik tanah yang terjadi pada 30 Mei 2007 tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Soeharto senantiasa melindungi kepentingan oligarchy yang ia bangun di balik stabilitas keamanan nasional. Atas nama stabilitas tersebut, Soeharto kemudian menutup rapat-rapat kebebasan pers selama ia menjadi orang nomor satu di negara ini. Berita dimonopoli media pemerintah seperti TVRI dan RRI. SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) menjadi tawar menawar mutlak bagi media yang menginginkan kelanggengan eksistensi dalam bisnis ini. Harian Indonesia Raya, Pedoman Abadi, Prioritas, hingga Tempo dan Detik Editor.

Pemecah belah persatuan bangsa, mengeruhkan situasi, mengadu domba dan menghasut satu sama lain, adalah kata yang sering dicetuskan Soeharto menanggapi media yang kritis terhadap berbagai kebijakan Soeharto. SIUPP memang telah dicabut pemberlakuannya oleh Habibie, penerus pemerintahan Soeharto setelah lengser. Namun itu bukan berarti media bisa terbuka memberitakan hasil investigasi yang mereka lakukan, terutama yang berkaitan dengan Soeharto dan kroninya.
Tahun 2003, wartawan Rakyat Merdeka dijebloskan ke penjara karena pemberitaan yang ia buat. Tahun berikutnya, wartawan majalah Tempo, harian Radar Yogya, dan tabloid Koridor pun mengalami hal yang sama. Berdalih pencemaran nama baik, banyak wartawan yang diseret ke meja hijau. Terakhir, yang paling menghebohkan, saat gugatan Soeharto terhadap majalah Time Asia dikabulkan Mahkamah Agung. Tak tanggung-tanggung, majalah tersebut dituntut membayar ganti rugi Rp 1 trilyun atas pemberitaan mereka yang dimuat dalam edisi Mei 1999. Dalam ulasan liputan investigative berjudul "Soeharto Inc" tersebut, Time membeberkan harta kekayaan Soeharto dan kroninya di berbagai negara yang mencapai lebih dari US$ 15 milyar.
Segala kebijakan ekonomi yang dibuat pada masa Soeharto memerintah akan bermuara pada kepentingan bisnis anak-anak dan kerabat diktator yang terkenal dengan sebutan "the smiling general" ini.

Homogenitas pangan, yang kemudian memicu diimpornya berbagai bahan pangan pokok, seperti kedelai, terigu, dan beras, berujung pada keuntungan yang melimpah ruah pada sang pengimpor yang mayoritas dipegang oleh kroni Soeharto. Kucuran dana yang bersumber dari pinjaman lembaga moneter internasional pun menjadi kebahagiaan semu bagi mayoritas rakyat Indonesia karena penggunaannya dimonopoli oleh lingkaran dalam Cendana.

Sayangnya, kebahagiaan semu masa Orde Baru mulai dirindukan banyak orang. "Zaman sekarang susah cari uang. Dulu saya cuma bawa angkot. Baru dua jam di jalan, setoran sudah kumpul. Sekarang saya bawa taksi, sampai malam begini cuma buat beli bensin. Belum dipalak preman...Enakan zaman Soeharto...kita gampang cari duit...", keluh Amir, seorang supir taksi.

Romantisme terhadap pemerintahan Orde Baru semakin meningkat ketika rakyat dihadapkan dengan berbagai konflik horizontal yang timbul di berbagai daerah. Hal ini bahkan dijustifikasi oleh Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso melalui pernyataannya bahwa bangsa Indonesia belum siap untuk berdemokrasi. Pernyataan yang dikemukaan dalam penutupan seminar dua hari mengenai kepemimpinan TNI Kamis (24/1) itu, perlu diwaspadai mengingat kampanye halus untuk memaafkan Soeharto semakin santer terdengar.

Soeharto memang telah mati, tapi kekuasaannya yang menggurita dan masih kuat mencengkeram beberapa tokoh kunci pemerintahan sekarang, bukan perkara mudah untuk ditumbangkan.



Saduran dari VHRmedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar